Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai
aliran filsafat pendidikan, sebagaimana Progresivisme. Secara
etimologi, Esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential
(inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau
paham. Menurut Brameld bahwa Esensialisme ialah aliran yang lahir dari
perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni Idealisme dan Realisme. Esensialisme
berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang
bersifat inti atau hakikat fundamental.
Aliran
ini menginginkan munculnya kembali kejayaan yang pernah diraih, sebelum abad
kegelapan atau disebut “the dark middle age”. Zaman ini akal
terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengetahuan, kehidupan diwarnai oleh
dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan
kebebasan dalam berpikir.
Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture”
yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti
kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI,
XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan
kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di
zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi
terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak
dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah
ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka
bersifat kekal dan monumental.
Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat
aliran ini terutama yang hidup pada zaman klasik seperti Plato,
Aristatoles, dan Democritus.
Sekalipun pada awalnya tidak terorganisasi,
Esensialisme tumbuh sebagai protes atau perlawanan terhadap Progresivisme.
Sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Esensialist Committee for
the Advecement of Education. Salah sorang tokohnya adalah William C.
Bagley. Ia adalah pemimpin gerakan Esensialisme dalam melawan gerakan
Progresivisme dari John Dewey dan W.H. Kilpatrick.
Dalam
bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga
pendidikan itu kehilangan arah. Menurut Imam Barnadib, pendidikan haruslah
bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, sehingga untuk
memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan
yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan
filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan
zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan Esensialisme. Puncak
refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.
Dalam konteks ini, Esensialisme berakar pada dua aliran filsafat, yaitu
Idealisme dan Realisme. Esensialisme mungkin Idealisme mungkin pula Realisme.
B.
Filsafat Pendukung/Yang Melandasi
Esensialisme
didukung atau dilandasi oleh filsafat Idealisme dan Realisme. Filsuf-filsuf besar Idealisme peletak dasar asas-asas Esensialisme
yang hidup pada zaman klasik yaitu Plato, sedangkan para filsuf Idealisme
modern adalah Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, dan Schopenhauer. Titik
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik.
Filsuf-filsuf
besar Realisme peletak dasar asas-asas Esensialisme yang hidup pada zaman
klasik yaitu Aristoteles dan Democritos, sedangkan filsuf Realisme modern
antara lain Thomas Hoobes, John Locke, G. Barkeley, dan David Hume. Pandangan-pandangannya
bersifat spiritual. Karena Realisme dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dalam
bidang sains dan sosial, maka Esensialisme pun dipengaruhi oleh temuan-temuan
tersebut.
C.
Pandangan Filsafat Umum yang Melandasinya
1. Pandangan Ontologi
Pandangan
ontologis Esensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realitas ini
dikuasai oleh tata (order) tertentu
yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimana bentuk,
sifat, kehendak dan cita-cita , dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan
tata tersebut. Bagaimana konsep tata atau order tersebut menurut Idealisme dan
Realsime selanjutnya diuraikan berikut ini.
Ontologi
Idealisme.Pendukung
Esensialisme adalah Idealisme objektif atau Idelaisme Absolut. Filsuf Idealisme
objektif klasik yaitu Plato, Plato meyakini adanya dunia (realitas) ideal yang
abadi dan dunia (realitas) material yang temporal serta fana. Realitas ideal
yang abadi itulah hakikat akhir dari segala realitas, sedangkan realitas
material yang temporal dan fana hanyalah penampakan saja atau hanya copy dari realitas
ideal.
Kelompok
idealisme objektif modern (seperti Hegel, dll) berpendapat bahwa hakikat akhir
realitas adalah Pikiran Yang Mutlak (absolut Mind; Absolut Reason; Tuhan).
Realitas adalah Pikiran Yang Mutlak yang mengekspresikan dirinya dalam dunia luar,
karena itu hukum-hukum pikiran adalah hukum-hukum realitas. Sejarah adalah cara
Zat Yang Mutlak menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia (Titus, dkk, 1959).
Sejarah adalah pikiran Tuhan yang diekspresikan, sejarah adalah dinamika abadi
yang merubah dunia, yang mana ia secara spiritual adalah realitas (Mohammad
Noor Syam, 1984). Dalam hal ini, maka Tuhan adalah sumber dari segala gerak,
adapun hukum gerak perubahan tersebut oleh Hegel disebut hukum dialektika (yaitu; tesis-antitesis-sintesis). Karena
itu, segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi di dunia ini adalah menurut
tata tertentu (Iman Barnadib, 1987); adapun order atau tata tertentu itu
bersumber dari yang Absolut.
Manusia
adalah mikrokosmos, ia mampu berpikir. Sebagai mikrokosmos, manusia adalah
makhluk yang semua tata serta kesatuan atau totalitasnya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dan sama dari alam semesta atau mikrokosmos, kalaupun berbeda
hanyalah dalam skala atau ukurannya saja.
Sehubungan
dengan hal di atas, eksistensi Tuhan tidak terlepas daripada eksistensi alam
semesta termasuk pula manusia. Alam semesta ialah medium yang digunakan Yang
Absolut untuk mewujudkan diri dalam bentuk eksternal. Karena itu kesadaran atau
pikiran manusia pun merupakan kesadaran Yang Absolut, hanya saja (dan karena
itu) kesadaran atau pikiran manusia bersifat tidak sempurna atau terbatas.
Kalau begitu apa tujuan manuisa? “Tujuan manusia adalah berupaya merealisasikan
dirinya sendiri dalam alam semesta ini, adapun realisasi diri ini adalah
realisasi kesadaran”. Sebagaimana dijelaskan di atas, segala sesutau oleh
Idealisme direduksi kepada ide, pikiran atau kesadaran. Kesadaran makhluk
terbatas pada dasarnya bersifat individual, namun Idealisme mengakui adanya kesadaran objektif,
yaitu kesadaran Yang Absolut. Kesadaran Absolut adalah kesadaran tertinggi,
kesadaran individual merupakan bagian dari kesadaran masyarakat; kesadaran
masyarakat lebih bermakna atau lebih menyeluruh dari kesadaran individu, tetapi
pada akhirnya bahwa kesadaran tertinggi adalah Yang Absolut (Madjid Noor, dkk,
1987). Kesimpulannya bahwa menurut Idealisme hakikat akhir realitas adalah ide,
jiwa, pikiran atau kesadaran. Ide adalah yang Absolut, yang esa, yaitu Tuhan,
kausa sempurna dari peristiwa tunggal yang meliputi keseluruhan realitas.
Segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi di dunia ini adalah menurut tata
tertentu yang bersumber dari Yang absolut. Inilah yang esensial itu.
Ontologi
Realisme. Realisme
pendukung Esesnsialisme adalah Realisme Objektif. Menurut aliran ini hakikat
realitas bersifat eksternal atau objektif, artinya berada di luar subjek atau
manusia dan independen dari pikiran manusia. Selain itu, realitas bersifat
teratur berdasarkan hukum-hukum yang tidak tunduk kepada kehendak manusia. Alam
semesta merupakan kesatuan yang mekanis menurut hukum alam obyektif
(kausalitas). Manusia begitu juga masyarakat merupakan bagian dari alam
semesta, maka semuanya berada dalam antar hubungan, tunduk pada hukum alam
obyektif, dan berada dalam proses evolusi, yaitu perubahan menuju kesempurnaan”
(Mohammad Noor Syam, 1984).
Manusia
memiliki intelegensi, ia mampu berpikir dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia
eksternalnya, sehingga tetap “survive” dalam perjuangannya menghadapi dunia
eksternalnya. Intelegensi atau kesadaran hakikatnya adalah biologis dan
berkembang, kesadaran bukan unsur primordial (yang mula-mula atau yang menjadi
sebab), melainkan muncul kemudian dalam sejarah evolusi. Karena itu,
intelegensi atau kesadaran adalah produk alam. Dalam evolusi kehidupan,
intelegensi adalah alat adaptasi manusia terhadap perubahan lingkungan. Dengan
demikian, maka nasib baik manusia atau dapat tetap “survive”-nya manusia adalah
karena intelegensinya harmoni dengan tatanan kehidupan, harmoni dengan tatanan
realitas eksternalnya (Madjid Noor, dkk, 1987).
Seperti
dikemukakan di atas, manusia dan mayarakat adalah bagian dari alam semesta yang
bersifat objektif dan eksternal, karena manusia dan masyarakat berada dalam
kesatuan mekanis dan tunduk pada hukum alam objektif (kausalitas) alam semesta,
maka hukum-hukum dalam kehidupan masyarakat pun sama dengan hukum-hukum alam.
Disamping itu, karena intelegensi adalah produk alam yang berfungsi sebagai
alat adaptasi dalam evolusi kehidupan, maka untuk tetap “survive” tugas dan
tujuan manusia adalah beradaptasi terhadap hukum-hukum masyarakat atau
kebudayaan dan alam lingkungannya. Inilah order atau tata yang esensial di
dalam kehidupan.
2. Pandangan Epistemology
a. Epistemology
Idealisme
Sumber
pengetahuan: Pada dasarnya manusia
adalah bagian dari kesadaran Yang Absolute; pola disain dan totalitas
mikrokosmos sama dengan makrokosmo. Kemampuan pikiran manusia untuk berfikir
logis, dalam mengambil kesimpulan yang valid adalah suatu perwujudan proses
yang sistematis yang juga kita temukan dalam mikrokosmos. Kesadaran manusia
bersifat terbatas, jika manusia tak dapat mengatahui hukum universal
makrokosmos, ia sesungguhnya dapat memahaminya melalui microcosmos, yaitu realita
dirinya sendiri, pemahaman atau pengertian ini akan memberi kesadaran untuk
mengerti realita yang lain (Muhammad noorsyam, 1984). Dengan kata lain sumber
pengetahuan adalah dari dalam diri, karena manusia memiliki ide- ide bawaan,
dan manusia memperoleh pengetahuan melalui berfikir, intuisi atau introspeksi.
Kriteria
kebenaran pengetahuan: Bagi Idealisme fikiran atau kesadaran adalam primodial.
Sejak kehidupan ada maka sejak itu pula otak kesadaran ada. Untuk itu maka
logika atau penalaran begitu penting, sebab memang logika atau penalaran itu
bagian yang sangat esensial dari realitas. Jadi kebenaran merupakan perwujudan
dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui
uji koherensi atau konsistensi logis ide- idenya.
b. Estimologi Realisme
Sumber
pengeahuan: Menurut Realisme Objektif sumber pengetahuan adalah dunia luar
subjek, pengetahuan di peroleh melalui pengelaman dria, atau pengamatan.
Kriteria
kebenaran: Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan
realitas eksternal yang objektif, dan independen. Sebab itu, uji kebenaran
pngetahuan di lakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
3. Pandangan
Aksiologi
a. Aksiologi
Idealime
Para
filsuf idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya di turunkan dari realitas
absolute (yaitu dari tuhan sebagai pribadi bagi pengenganut Idelisme Theistik
atau dari satu kekuatan spirit impersonal dari alam bagi penganut Idealism Pantheistik
yang mengidentifikasikan Tuhan dengan alam). Karena itu, nilai- nilai adalah
abadi atau tidak berubah (Callahan and Clark, 1983).
Dalam
kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa dan
patriotisme merupakan nilai- nilai sosial yang perlu dijungjung tinggi. Dapat
dipahami bahwa Idealisme mungkin melandasi totalitarianisme, mungkin juga
mendukung demokrasi.
b. Aksiologi
Realisme
para
filsuf Realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia di atas hukum
alam dan pada taraf yang lebih rendah di atur melalui kovensi atau kebiasaan,
adat istiadat di dalam masyarakat (Edward J. Power,1982). Moral itu di
sosialisasikan oleh masyarakat terhadap anggotanya atau di internalisasikan
sendiri oleh individu melalui pengalaman di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa
kata hati adalah cerminan aspirasi masyarakat, bukan perwujudan Tuhan.
D.
Konsep tentang Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Pendidikan.
Bagi penganut Essensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara
kebudayaan, “Education as Cultural
Conservation”. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab
kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah.
Kebudayaan demikian adalah esensial yang mampu mengemban hari kini dan masa
depan umat manusia (Mohammad Noor Syam, 1984). Dengan demikian, pendidikan harus bersendikan pada nilai-nilai yang dapat
mendatangkan stabilitas yaitu nilai yang memiliki tata yang jelas dan telah
teruji oleh waktu. Pendidikan
adalah upaya persiapan hidup, bukan hidup itu sendiri.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan
Pendidikan. Pendidikan
bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum (E.J Power, 1982). Pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai universal yang telah teruji.
Sekolah. Fungsi utama sekolah adalah
memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun, dan menjadi penuntun
penyesuaian orang (individu) kepada masyarakat (Imam Barnadib, 1984). Sekolah
yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan
dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk, 1987). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan
untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini. Konsep dasar
pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan
program-program esensialis di sekolah-sekolah.
Tujuan utama dari
program-program tersebut di antaranya:
1.
Sekolah-sekolah
esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
2.
Sekolah-sekolah
mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai
kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau
orang yang memiliki otoritas.
3.
Sekolah-sekolah memprogramkan
pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang
mempersiapkannya untuk hidup.
3. Kurikulum
Kurikulum
(isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasikan oleh orang dewasa atau guru
sebagai wakil masyarakat, society centered.
Hal ini sesuai dengan dasar filsafat Idealisme dan Realisme yang menyatakan
bahwa masyarakat dan alam (Realisme) atau masyarakat dan yang absolut
(Idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta
didik) hidup. Konsep yang sistematis
dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu
pengetahuan, “agama”, dan seni, yang dipandang essensial. Adapun sifat
organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata pelajaran (subject matter center). Di Sekolah Dasar misalnya, Ia menekankan pada kemampuan dasar membaca,
menulis dan berhitung. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan
perdebatan serta bebas dari bias politik dan agama. Dan harus memiliki suatu inti
pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam
suatu cara yang sistematis dan berdisiplin (Sadulloh,2007 : 159). Secara khusus, Essensialisme adalah
bentuk pendidikan vokasional yang membahas materi pelajaran dengan
mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat hidup yang produktif.
4. Metode
Metode. Essensialisme
menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang
berhubungan dengan disiplin mental, yaitu mengajarkan
konsep-konsep dasar, meskipun konsep itu harus disesuaikan dengan tingkat
intelektual dan psikologi anak. Metode
problem solving memang ada
manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan
belajar. Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan bersifat abstrak dan tidak
dapat dipecahkan kedalam masalah-masalah diskrit (yang berlainan). Selain itu,
bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras, perlu menekankan disiplin
(G. Kneller, 1971).
5. Peranan Pendidik
dan Peserta Didik
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara
dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan
sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan peranannya sebagai
pengarah proses belajar. Bagi kaum esensialis
guru seharusnya aktif, bertanggungjawab, pengatur ruangan, penyalur pengetahuan
yang baik, penentu materi, metode, evalusi dan bertanggungjawab terhadap
seluruh wilayah pembelajaran. Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai
lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru
dan digugu. Diane Lapp et all (1975 : 39). Adapun secara moral guru haruslah orang terdidik yang dapat
dipercaya (Edward J. Power, 1982). Dengan demikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. Kneller, 1971).
Peranan peserta didik adalah
belajar, Siswa pergi ke sekolah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran.
Oleh karena itu, Sekolah berkuasa untuk
menuntut hasil belajar siswa. Menurut
Idealisme, belajar yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran, seperti
yang telah ditetapkan oleh yang absolut (Madjid Noor, dkk, 1987). Sedangkan
menurut Realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat dan alam.
Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial
oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan
kepada angkatan berikutnya (Imam Barnadib, 1984).
Daftar Pustaka
Haitam, Dadang
Gani Ginanjar. 2010. Aliran Esensialisme
dalam Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di: http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html.
Putra,
Kaharuddin Eka. 2012. Aliran Esensialisme
Dalam Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di: http://dadanggani.blogspot.com/2012/03/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html.
Ronquillo, Ulysses. 2011. Aliran Esensialisme. Dalam Pendidikan. [Online].
Tersedia di: http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-esensialisme/.
Syarifudin,
Tatang dan Kurniasih. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan
Ilmu.
Winardi, Wiji. 2012. Aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme. [Online].
Tersedia di: http://kongsodewo.blogspot.com/2012/01/aliran-filsafat-pendidikan-esensialisme.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar