Kamis, 10 Mei 2012

Filsafat Pendidikan Esensialisme


Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan, sebagaimana Progresivisme. Secara etimologi, Esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa Esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni Idealisme dan Realisme. Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental.
Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejayaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the dark middle age”. Zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
          Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
          Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat aliran ini  terutama yang hidup pada zaman klasik seperti Plato, Aristatoles, dan Democritus.
            Sekalipun pada awalnya tidak terorganisasi, Esensialisme tumbuh sebagai protes atau perlawanan terhadap Progresivisme. Sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Esensialist Committee for the Advecement of Education. Salah sorang tokohnya adalah William C. Bagley. Ia adalah pemimpin gerakan Esensialisme dalam melawan gerakan Progresivisme dari John Dewey dan W.H. Kilpatrick.
Dalam bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga pendidikan itu kehilangan arah. Menurut Imam Barnadib, pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, sehingga untuk memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan Esensialisme. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas. Dalam konteks ini, Esensialisme berakar pada dua aliran filsafat, yaitu Idealisme dan Realisme. Esensialisme mungkin Idealisme mungkin pula Realisme.

B.                 Filsafat Pendukung/Yang Melandasi
Esensialisme didukung atau dilandasi oleh filsafat Idealisme dan Realisme. Filsuf-filsuf besar Idealisme peletak dasar asas-asas Esensialisme yang hidup pada zaman klasik yaitu Plato, sedangkan para filsuf Idealisme modern adalah Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, dan Schopenhauer. Titik tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik.
Filsuf-filsuf besar Realisme peletak dasar asas-asas Esensialisme yang hidup pada zaman klasik yaitu Aristoteles dan Democritos, sedangkan filsuf Realisme modern antara lain Thomas Hoobes, John Locke, G. Barkeley, dan David Hume. Pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Karena Realisme dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dalam bidang sains dan sosial, maka Esensialisme pun dipengaruhi oleh temuan-temuan tersebut.
Idealisme dan Realisme secara bersama-sama mendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu, masing-masing aliran tidak melepaskan sifat utamanya. Ia pun mengemukakan bahwa zaman Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikiran yang disebut Esensialisme. Karena timbulnya sejak zaman itu, Esensialisme adalah konsep yang meletakkan sebagian dari ciri-ciri pikiran modern.

C.                Pandangan Filsafat Umum yang Melandasinya
1. Pandangan Ontologi
Pandangan ontologis Esensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realitas ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita , dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut. Bagaimana konsep tata atau order tersebut menurut Idealisme dan Realsime selanjutnya diuraikan berikut ini.
Ontologi Idealisme.Pendukung Esensialisme adalah Idealisme objektif atau Idelaisme Absolut. Filsuf Idealisme objektif klasik yaitu Plato, Plato meyakini adanya dunia (realitas) ideal yang abadi dan dunia (realitas) material yang temporal serta fana. Realitas ideal yang abadi itulah hakikat akhir dari segala realitas, sedangkan realitas material yang temporal dan fana hanyalah penampakan saja atau hanya copy dari realitas ideal.
Kelompok idealisme objektif modern (seperti Hegel, dll) berpendapat bahwa hakikat akhir realitas adalah Pikiran Yang Mutlak (absolut Mind; Absolut Reason; Tuhan). Realitas adalah Pikiran Yang Mutlak yang mengekspresikan dirinya dalam dunia luar, karena itu hukum-hukum pikiran adalah hukum-hukum realitas. Sejarah adalah cara Zat Yang Mutlak menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia (Titus, dkk, 1959). Sejarah adalah pikiran Tuhan yang diekspresikan, sejarah adalah dinamika abadi yang merubah dunia, yang mana ia secara spiritual adalah realitas (Mohammad Noor Syam, 1984). Dalam hal ini, maka Tuhan adalah sumber dari segala gerak, adapun hukum gerak perubahan tersebut oleh Hegel disebut hukum dialektika  (yaitu; tesis-antitesis-sintesis). Karena itu, segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi di dunia ini adalah menurut tata tertentu (Iman Barnadib, 1987); adapun order atau tata tertentu itu bersumber dari yang Absolut.
Manusia adalah mikrokosmos, ia mampu berpikir. Sebagai mikrokosmos, manusia adalah makhluk yang semua tata serta kesatuan atau totalitasnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dan sama dari alam semesta atau mikrokosmos, kalaupun berbeda hanyalah dalam skala atau ukurannya saja.
Sehubungan dengan hal di atas, eksistensi Tuhan tidak terlepas daripada eksistensi alam semesta termasuk pula manusia. Alam semesta ialah medium yang digunakan Yang Absolut untuk mewujudkan diri dalam bentuk eksternal. Karena itu kesadaran atau pikiran manusia pun merupakan kesadaran Yang Absolut, hanya saja (dan karena itu) kesadaran atau pikiran manusia bersifat tidak sempurna atau terbatas. Kalau begitu apa tujuan manuisa? “Tujuan manusia adalah berupaya merealisasikan dirinya sendiri dalam alam semesta ini, adapun realisasi diri ini adalah realisasi kesadaran”. Sebagaimana dijelaskan di atas, segala sesutau oleh Idealisme direduksi kepada ide, pikiran atau kesadaran. Kesadaran makhluk terbatas pada dasarnya bersifat individual, namun  Idealisme mengakui adanya kesadaran objektif, yaitu kesadaran Yang Absolut. Kesadaran Absolut adalah kesadaran tertinggi, kesadaran individual merupakan bagian dari kesadaran masyarakat; kesadaran masyarakat lebih bermakna atau lebih menyeluruh dari kesadaran individu, tetapi pada akhirnya bahwa kesadaran tertinggi adalah Yang Absolut (Madjid Noor, dkk, 1987). Kesimpulannya bahwa menurut Idealisme hakikat akhir realitas adalah ide, jiwa, pikiran atau kesadaran. Ide adalah yang Absolut, yang esa, yaitu Tuhan, kausa sempurna dari peristiwa tunggal yang meliputi keseluruhan realitas. Segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi di dunia ini adalah menurut tata tertentu yang bersumber dari Yang absolut. Inilah yang esensial itu.
Ontologi Realisme. Realisme pendukung Esesnsialisme adalah Realisme Objektif. Menurut aliran ini hakikat realitas bersifat eksternal atau objektif, artinya berada di luar subjek atau manusia dan independen dari pikiran manusia. Selain itu, realitas bersifat teratur berdasarkan hukum-hukum yang tidak tunduk kepada kehendak manusia. Alam semesta merupakan kesatuan yang mekanis menurut hukum alam obyektif (kausalitas). Manusia begitu juga masyarakat merupakan bagian dari alam semesta, maka semuanya berada dalam antar hubungan, tunduk pada hukum alam obyektif, dan berada dalam proses evolusi, yaitu perubahan menuju kesempurnaan” (Mohammad Noor Syam, 1984).
Manusia memiliki intelegensi, ia mampu berpikir dan karenanya dapat  menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya, sehingga tetap “survive” dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya. Intelegensi atau kesadaran hakikatnya adalah biologis dan berkembang, kesadaran bukan unsur primordial (yang mula-mula atau yang menjadi sebab), melainkan muncul kemudian dalam sejarah evolusi. Karena itu, intelegensi atau kesadaran adalah produk alam. Dalam evolusi kehidupan, intelegensi adalah alat adaptasi manusia terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, maka nasib baik manusia atau dapat tetap “survive”-nya manusia adalah karena intelegensinya harmoni dengan tatanan kehidupan, harmoni dengan tatanan realitas eksternalnya (Madjid Noor, dkk, 1987).
Seperti dikemukakan di atas, manusia dan mayarakat adalah bagian dari alam semesta yang bersifat objektif dan eksternal, karena manusia dan masyarakat berada dalam kesatuan mekanis dan tunduk pada hukum alam objektif (kausalitas) alam semesta, maka hukum-hukum dalam kehidupan masyarakat pun sama dengan hukum-hukum alam. Disamping itu, karena intelegensi adalah produk alam yang berfungsi sebagai alat adaptasi dalam evolusi kehidupan, maka untuk tetap “survive” tugas dan tujuan manusia adalah beradaptasi terhadap hukum-hukum masyarakat atau kebudayaan dan alam lingkungannya. Inilah order atau tata yang esensial di dalam kehidupan.

2. Pandangan Epistemology
a. Epistemology Idealisme
Sumber pengetahuan: Pada dasarnya manusia  adalah bagian dari kesadaran Yang Absolute; pola disain dan totalitas mikrokosmos sama dengan makrokosmo. Kemampuan pikiran manusia untuk berfikir logis, dalam mengambil kesimpulan yang valid adalah suatu perwujudan proses yang sistematis yang juga kita temukan dalam mikrokosmos. Kesadaran manusia bersifat terbatas, jika manusia tak dapat mengatahui hukum universal makrokosmos, ia sesungguhnya dapat memahaminya melalui microcosmos, yaitu realita dirinya sendiri, pemahaman atau pengertian ini akan memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain (Muhammad noorsyam, 1984). Dengan kata lain sumber pengetahuan adalah dari dalam diri, karena manusia memiliki ide- ide bawaan, dan manusia memperoleh pengetahuan melalui berfikir, intuisi atau introspeksi.
Kriteria kebenaran pengetahuan: Bagi Idealisme fikiran atau kesadaran adalam primodial. Sejak kehidupan ada maka sejak itu pula otak kesadaran ada. Untuk itu maka logika atau penalaran begitu penting, sebab memang logika atau penalaran itu bagian yang sangat esensial dari realitas. Jadi kebenaran merupakan perwujudan dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji koherensi atau konsistensi logis ide- idenya.
b. Estimologi Realisme
Sumber pengeahuan: Menurut Realisme Objektif sumber pengetahuan adalah dunia luar subjek, pengetahuan di peroleh melalui pengelaman dria, atau pengamatan.
Kriteria kebenaran: Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal yang objektif, dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pngetahuan di lakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.

3. Pandangan Aksiologi
a. Aksiologi Idealime
Para filsuf idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya di turunkan dari realitas absolute (yaitu dari tuhan sebagai pribadi bagi pengenganut Idelisme Theistik atau dari satu kekuatan spirit impersonal dari alam bagi penganut Idealism Pantheistik yang mengidentifikasikan Tuhan dengan alam). Karena itu, nilai- nilai adalah abadi atau tidak berubah (Callahan and Clark, 1983).
Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa dan patriotisme merupakan nilai- nilai sosial yang perlu dijungjung tinggi. Dapat dipahami bahwa Idealisme mungkin melandasi totalitarianisme, mungkin juga mendukung demokrasi.
b. Aksiologi Realisme
para filsuf Realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia di atas hukum alam dan pada taraf yang lebih rendah di atur melalui kovensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat (Edward J. Power,1982). Moral itu di sosialisasikan oleh masyarakat terhadap anggotanya atau di internalisasikan sendiri oleh individu melalui pengalaman di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa kata hati adalah cerminan aspirasi masyarakat, bukan perwujudan Tuhan.

D.                Konsep tentang Pendidikan
1.         Definisi Pendidikan
            Pendidikan. Bagi penganut Essensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan, “Education as Cultural Conservation”. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan demikian adalah esensial yang mampu mengemban hari kini dan masa depan umat manusia (Mohammad Noor Syam, 1984). Dengan demikian, pendidikan harus bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas yaitu nilai yang memiliki tata yang jelas dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan adalah upaya persiapan hidup, bukan hidup itu sendiri.
2.         Tujuan Pendidikan
            Tujuan Pendidikan. Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan umum (E.J Power, 1982). Pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai universal yang telah teruji.
            Sekolah. Fungsi utama sekolah adalah memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang (individu) kepada masyarakat (Imam Barnadib, 1984). Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk, 1987). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini. Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah.
Tujuan utama dari program-program tersebut di antaranya:
1.        Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
2.        Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
3.        Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk hidup.
3.         Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasikan oleh orang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society centered. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat Idealisme dan Realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (Realisme) atau masyarakat dan yang absolut (Idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta didik) hidup. Konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, “agama”, dan seni, yang dipandang essensial. Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata pelajaran (subject matter center). Di Sekolah Dasar misalnya, Ia menekankan pada kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan serta bebas dari bias politik dan agama. Dan harus memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin (Sadulloh,2007 : 159). Secara khusus, Essensialisme adalah bentuk pendidikan vokasional yang membahas materi pelajaran dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat hidup yang produktif.
4.         Metode
Metode. Essensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental, yaitu mengajarkan konsep-konsep dasar, meskipun konsep itu harus disesuaikan dengan tingkat intelektual dan psikologi anak. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar. Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan kedalam masalah-masalah diskrit (yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).
5.         Peranan Pendidik dan Peserta Didik
            Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan peranannya sebagai pengarah proses belajar. Bagi kaum esensialis guru seharusnya aktif, bertanggungjawab, pengatur ruangan, penyalur pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evalusi dan bertanggungjawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran. Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Diane Lapp et all (1975 : 39). Adapun secara moral guru haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya (Edward J. Power, 1982). Dengan demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. Kneller, 1971).
            Peranan peserta didik adalah belajar, Siswa pergi ke sekolah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran. Oleh karena itu, Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Menurut Idealisme, belajar yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran, seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut (Madjid Noor, dkk, 1987). Sedangkan menurut Realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya (Imam Barnadib, 1984).











Daftar Pustaka
Haitam, Dadang Gani Ginanjar. 2010. Aliran Esensialisme dalam Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di: http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html.
Putra, Kaharuddin Eka. 2012. Aliran Esensialisme Dalam Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di: http://dadanggani.blogspot.com/2012/03/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html.
Ronquillo, Ulysses. 2011. Aliran Esensialisme. Dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia di: http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-esensialisme/.
Syarifudin, Tatang dan Kurniasih. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.
Winardi, Wiji. 2012. Aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme. [Online]. Tersedia di: http://kongsodewo.blogspot.com/2012/01/aliran-filsafat-pendidikan-esensialisme.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar